Dalam Pengadilan Hubungan Industrial, Buruh dan Pengusaha Tidak Boleh Disetarakan
Hukum acara PHI yang memang tidak memiliki hukum acaranya sendiri kemudian menempatkan antara Penggugat dan Tergugat (Buruh dan Pengusaha atau Proletar dan Borjuis) menjadi �setara� sebagaimana Hukum Acara Perdata yang nemempatkan Penggugat dan Tergugat sebagai para pihak, dalam kenyataannya tidaklah demikian.
Relasi buruh dan pengusaha tidak pernah setara dan tidak dapat disetarakan karena hubungan keduanya mengandung watak anatagonisme kelas (hubungan produksi antara buruh dengan pengusaha bukan setara, melainkan struktural antara atas dan bawah). Dengan demikian, bahwa sengketa di PHI adalah sengketa struktural, bukan sengketa perdata biasa.
Di situlah pengadilan (baca: hakim) menutup mata akan realita di atas dengan berlindung diri pada hukum acara perdata yang dipakai juga dalam PHI. Berkali-kali produk yuridis (hukum) yang dibuat dan sudah terbilang memenuhi standar kelayakan, belum mampu menunjukkan taringnya ketika berhadapan dengan pemilik modal dan kekuasaan.
Kekuatan pemilik modal ini membuat aparat penegak hukum mengidap lesu darah, impoten, atau susut nyalinya. Alih-alih melompati pagar �bukan sebatas corong Undang-undang� untuk konsisten mengikuti norma hukum saja, hakim justru belum berani menerapkannya secara maksimal.
Semisal: Korupsi. Dalam hal ini seharusnya aparat penegak hukum bisa menerapkan ancaman maksimal sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang hukuman maksimalnya adalah hukuman mati kepada koruptor (terdakwa).
Nyatanya, hingga sekarang, rasanya belum ada aparat yang berani berlawan secara yuridis.
Kalau menjadi corong atau penegak undang-undang saja belum bisa ditegakkan secara konsisten, maka akan berat sekali mengharapkan hakim berlawan secara intelektual yuridis dengan cara mengembangkan model penafsiran atau intepretasi hukum.
Hakim harus menggolongkan mana yang ditindas dan mana yang menindas, selain memiliki tujuan mempertanggungjawabkan kewenangan, juga menunjukkan bahwa dalam dirinya ada tekad (mentalitas) hingga pasang badan untuk melawan penindasan dan menegakan keadilan.
Mentalitas hakim memang masih menjadi virus utama yang membuat penegakan hukum rentan diserang, dikooptasi, dijinakkan, dan bahkan diamputasi oleh berbagai kekuatan yang berkoalisi dan berkolaborasi dengan kekuatan modal.
Hakim PHI hanya bertindak sebagai corong undang-undang, menempatkan diri bahwa hakim tidak dapat mengubah undang-undang, tidak mempertimbangkan apakah isi undang-undang tersebut bertentangan atau tidak dengan realitas sosial dan rasa keadilan rakyat. Hakim selalu berfikiran bahwa apa kata undang-undang, itulah yang harus diberlakukan.
Maka tidak heran jika muncul adagium (pepatah) “lex dura, sed tamen scripta” yang terjemahan bebasnya adalah “sekalipun undang-undang terasa kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya dan harus dilaksanakan”.
Hakim Harus Berani Mambuat Tafsir Undang-undang Yang Menguntungkan Buruh/Rakyat Miskin
Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang kekuasaan Kehakiman Menegaskan “Bahwa Hakim wajib menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat”.
Dalam penjelasannya ditegaskan: “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Itu berarti kalau ternyata isi undang-undang tidak cukup lengkap atau penerapan undang-undang tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadilan yang baru, maka hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat tersebut.
Untuk memenuhi rasa keadilan rakyat dalam praktek hukum dan yurisprudensi, hakim dapat menggunakan kekuasaanya untuk tidak menggunakan contra legem (Undang-Undang tidak boleh ditafsirkan bertentangan dengan Undang-Undang itu sendiri) karena kekuasaan hakim adalah absolut (mutlak) dalam persidangan.
Karena absolute-nya, (demi keadilan rakyat) tindakan hakim dalam memutuskan seharusnya boleh digunakan untuk melanggar larangan yang ditentukan pasal dalam undang-undang dengan cara menyingkirkan penerapan pasal tersebut atau menyingkirkan prinsip lex certa (tidak boleh multi tafsir).
Dengan begitu, hakim bisa melakukan langkah antisipatif meminimalisasi penolakan rakyat atas suatu putusan, untuk itu sebelum memutuskan suatu perkara, hakim harus menimbang agar memberikan keadilan bagi mayoritas rakyat yang dirugikan.
Kalau hakim memperkirakan putusannya itu bakal mengguncang bahkan melukai rasa keadilan rakyat dan karenanya ditolak oleh rakyat maka sebaiknya putusan itu diubah sebelum dibacakan di persidangan.
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan bentuk nyata dari sebuah peradilan sengketa struktural jadi, anggapan adanya kesetaraan para pihak merupakan bentuk riil dari pandangan sempit dan kemalasan para hakim.
Hukum itu bukan rutinitas mengetuk palu di gedung pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa kemanusiaanya. Yang dibutuhkan keadilan adalah keberanian tafsir atas undang-undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Sehingga keadilan hanya diasumsikan kepada rutinitas hakim sebagai mata pencaharian di dalam sebuah gedung.
Source: kabarburuh.com