Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan tentang Penangguhan Upah, Bertentangan Dengan UUD 45
Pada hari Kamis, 29 September 2016 lalu, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan atas gugatan buruh terhadap penjelasan pasal 90 ayat 2 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Pada pasal tersebut memuat tentang penangguhan upah minimum.
Seperti diketahui, pada tiap tahunnya paska keputusan pemerintah tentang kenaikan upah buruh. Banyak perusahaan yang tersebar di berbagai daerah, mengajukan penangguhan upah yang telah diputuskan pemerintah. Jika disetujui, perusahaan bisa membayarkan upah buruhnya sesuai tahun sebelumnya, dan tidak mengikuti besaran upah yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Pasal 90 UU Ketenagakerjaan menyebutkan:
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat yang membacakan amar pususan mahkamah, menilai bahwa terdapat inkonsistensi norma antara Pasal 90 ayat 1 dan Pasal 90 ayat 2 UU Ketenagakerjaan, dengan Penjelasan Pasal 90 ayat 2 UU Ketenagakerjaan.
Adapun bunyi Penjelasan Pasal 90 ayat 2 UU Ketenagakerjaan, adalah;
Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan.
Pengertian dalam butir penjelasan tersebut, bagi perusahaan yang telah habis masa waktu pemberian penangguhan upah, tidak wajib untuk membayarkan sisa upah yang sesuai dengan upah yang ditetapkan. Misal: Upah di Jakarta tahun 2015 sebesar 2,7 juta rupiah dan pada tahun 2016 sebesar 3,1 juta rupiah.
Lalu jika ada sebuah perusahaan meminta penangguhan upah selama 6 bulan pada tahun 2016, dan dikabulkan oleh pemerintah daerah. Maka pada bulan Januari sampai Juni tahun 2016, perusahaan diperbolehkan membayar upah sebesar 2,7 juta, dan pada bulan selanjutnya membayarkan upah sebesar 3,1 juta. Sementara selisih upah selama 6 bulan penangguhan upah, tidak wajib dibayarkan oleh perusahaan kepada para pekerja.
Inkonsistensi norma yang dimaksud oleh Mahkamah, dianggap telah menimbulkan tafsir yang berbeda terkait penangguhan upah. “Keadaan yang demikian menyebabkan buruh terancam haknya untuk mendapat imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Sehingga ketentuan a quo juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945,” ujar Mahkamah.
Gugatan diajukan oleh Sukarya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Serikat Buruh Mandiri (GSBM). Dan Siti Nurrofiqoh, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Buruh Bangkit.
Salah satu alasan yang disampaikan oleh para pemohon, mencontohkan kasus penanguhan upah yang terjadi pada tahun 2014 di Bogor. Pada saat itu, Gubernur Jawa Barat memberikan izin penangguhan upah kepada 61 perusahaan di Kabupaten Bogor selama 12 bulan. Faktanya, usai masa berlaku penangguhan upah, 61 perusahaan tersebut tidak membayarkan sisa atau selisih dari upah yang ditangguhkan selama 12 bulan.
Kenaikan upah yang terjadi setiap tahun, dan adanya pasal yang mengatur tentang penangguhan upah, maka bagi perusahaan yang mendapatkan izin penangguhan upah tidak akan berfikir untuk membayarkan kekurangan upah yang ditangguhkan sebelumnya.
Atas berbagai pertimbangan, dalam putusannya, Mahkamah Konsitusi menyatakan bahwa:
Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU 13/2003 sepanjang frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan”, bertentangan dengan UUD 1945.
Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU 13/2003 sepanjang frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan”, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Para Pemohon menilai kebijakan penangguhan upah telah melahirkan ketidakpastian, dikarenakan para pengusaha menjadi mungkin untuk menyimpang dari ketentuan tersebut. Sehingga, upah yang diterima oleh pekerja atau buruh menjadi di bawah ketentuan yang berlaku.
Source: alfa gumilang/kabarburuh.com